Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia mengekspor kepiting bakau ke beberapa negara, yaitu Jepang, Hongkong, Singapiura, Australia, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Prancis dan Amerika Serikat. Kepiting bakau yang diekspor sebagian besar diproduksi dengan ditangkap di alam.
Kepititng bakau merupakan bahan pangan bergizi tinggi. Daging kepiting bakau mengandung protein 65,72%, sedangkan telurnya mengandung protein 88,55%. Karena itu, kepiting bakau tergolong makanan seafood mewah yang harganya cukup tinggi.
a Mengenal Kepiting Bakau
Kepiting bakau termasuk hewan dalam filum Arthropoda, klas Crustacea, dan famili Portunidae, yang sekerabat dengan rajungan.
Diperkirakan, kepiting bakau memiliki spesies yaitu Scylla serrata, S. oseanica dan S. transquebarica serta satu varietas yaitu Scylla serrata var. paramamosain.
Scylla serrata dapat dibedakan dengan dua jenis lainnya berdasarkan morfologi terutama bentuk duri baik pada karapas maupun pada bagian capitnya serta warna yang dominan pada tubuhnya.
S. serrata memiliki duri relatif pendek dibandingkan dua spesies lainnya. Warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya, sedangkan pada jenis lainnya dominan warna ungu pucat dan kehitaman.
Ciri lain yaitu pada S. oseanica berwarna kehijauan dan terdapat garis-garis biru berwarna cokelat hampir pada seluruh bagian tubuhnya kecuali bagian perut.
Sedangkan S. transcuebarica berwarna kehijauan sampai dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya.
Secara umum S. oseanica dan S. transquebarica memiliki ukuran lebih besar daripada S. serrata untuk umur yang sama.
Kepiting bakau tergolong dalam klas Crustacea dan ordo Decapoda. Crustacea merupakan hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan oleh proses ganti kulit (moulting).
Decapoda ditandai oleh adanya 10 buah (5 pasang) kaki, pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat pemegang atau penangkap makanan, pasangan kaki ke lima berbentuk seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki lainnya sebagai kaki jalan.
Dengan capit dan kaki jalan, kepiting bisa berlari cepat di darat dan berbekal kaki renang dapat berenang dengan cepat di air sehingga tergolong pula dalam kepiting perenang (swimming crab), Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas (carapace) yang oval bagian depan memiliki 9 duri pada sisi kiri dan kanan, serta 6 duri diantara kedua matanya.
Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama.
Pada kepiting bakau jantan dicirikan oleh abnomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan pada kepiting bakau betina dewasa agak bundar dan melebar.
Kepiting bakau jantan dan betina juga dapat dibedakan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh.
Kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3-10 cm, beart capitnya sekitar 22 % dari berat tubuh. Setelah ukuran karapasnya mencapai 10-15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yaitu 30-35 % dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama yaitu 22 %.
Warna karapasnya kepiting bakau seperti warna lumpur sehingga sering disebut kepiting lumpur. Ada juga yang berwarna hijau kegelapan atau hijau agak terang.
Panjang karapasnya kurang lebih duapertiga dari lebarnya. Permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekukk berbintik kasar.
Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan kepiting dikelompokkan menjadi kepiting juwana, kepiting muda dan kepiting dewasa dengan masing-masing ukuran yaitu 20-70 mm, 70-150 mm dan 150-200 mm.
Sejak muda kepiting bakau telah menempati perairan dengan habitat berlumpur yang merupakan dasar dari habitat tempat hidup hutan bakau.
Sebagai binatang yang bersikap bentik dan membenamkan diri di dalam lumpur, kepiting bakau merupakan hewan yang hidup pada habitat "keras" yang selalu kekurangan oksigen.
Kepiting bakau harus mampu mengantisipasi kondisi lingkungannya yang sangat berpengaruh oleh mobilitas tanah, pengaruh air tawar dan alut dan juga pengaruh pasang surut.
Dengan demikian kepiting bakau mampu beradaptasi dengan kehidupan yang sebagaian merupakan kehidupan dengan kekurangan air.
Kepiting bakau tidak bisa melepaskan diri dari air. Kepiting bakau menjalani metamorfosa sempurna, artinya bentuk larvanya sama sekali berlainan dengan bentuk dewasanya.
Telur kepiting bakau yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea, megalops, kepiting muda dan akhirnya menjadi kepiting dewasa.
Selama masa pertumbuhan, kepiting bakau menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit antara 17-20 kali tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan.
Proses ganti kulit pada zoea berlangsung relatif lebih cepat yaitu sekitar 3-4 hari, sedangkan pada fase megalops, proses dan interval pergantian kulitnya relatif lama yaitu setiap 15 hari.
Setiap ganti kulit, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran semula, dan panjang karapas 5-10 mm pada kepiting dewasa,
Lebar karapas kepiting dewasa berumur 12 bulan adalah sekitar 17 cm dan berat sekitar 200 gram.
Bila kondisi mendukung, kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan.
Kepiting bakau dewasa akan beruaya (migrasi) ke laut lepas guna melakukan pemijahan. Induk dan anak-anak kepiting akan kembali ke perairan pantai, muara sungai, dan perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri.
Kepiting bakau bersifat eoryhaline (toleran terhadap kisaran salinitas yang luas) antara 0-35 ppt. Namun dari pengamatan, laju pertumbuhan terbaik adalah pada salinitas 10-15 ppt.
Berdasarkan daur hidup kepiting bakau, larva kepiting hidup pada salinitas 27-35 ppt, kemudian memasuki muara sungai, tambak-tambak dan perairan hutan mangrove bersalinitas 5-15 ppt.
Ketika hendak memijah, kepiting bakau beruaya pada perairan bersalinitas antara 27-30 ppt.
Kepiting bakau muda dan dewasas bersifat pemakan segala dan pemakai bangkai (omnivorous scavanger). Sedangkan larva kepiting bakau bersifat pemakan plankton.
Jenis makanan yang dimakan larva kepiting diantaranya diatom, tetraselmis, klorela, rostifera, larva ekinodermata, larva berbagai molusca, cacing, dan sebagainya.
Larva kepiting bakau menyukai makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup yang bergerak daripada berupa tumbuhan (fitoplankton) atau yang mati dan diam.
Makanan hidup dan bergerak diperlukan karena larva diperkirakan memperoleh makanan bukan dengan mengejar makanan, melainkan karena dalam kemampuan berenangnya yang masih terbatas bertabrakan dengan organisme makanan secara kebetulan.
Makanan plantonik hidup ini sangat penting bagi sintasan (survival rate) larva kepiting.
Dalam mencari makanan, kepiting bakau muda dan dewasa lebih suka merangkak, walaupun kepiting bakau juga dapat berenang.
Kepiting bakau mulai keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam. Dalam semalam, kepiting bakau mampu merangkak sejauh 200-1.000 meter untuk mencari makanan.
Ketika matahari akan terbit, kepiting bakau kembali membenamkan diri. Karena itu, kepiting bakau digolongkan ke dalam hewan nokturnal yang aktif pada malam hari.
Dalam aktivitas mencari makan, kepiting bakau memiliki daerah kekuasaan. Bila daerah kekuasaannya diganggu musuh, misalnya oleh kepiting jenis lain, kepititng bakau dapat saja menyerang musuhnya dengan ganas.
Musuhnya dicabik-cabik dengan capitnya. Kepiting bakau juga bersifat kanibalisme, saling memangsa. Namun sifat ini muncul jika makanan kurang tersedia.
Kepiting bakau yang sementara ganti kulit menjadi sasaran serangan dari kepiting-kepiting yang tidak ganti kulit. Untuk mencegah kanibalisme, maka dalam budidaya selain harus disediakan pakan yang cukup, juga hendaknya disediakan shelter (pelindung) bagi kepiting-kepiting yang ganti kulit.
Kepiting bakau menggunakan capitnya yang besar untuk makan, yaitu menggunakan capit untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Dengan capitnya yang besar, kepiting bakau mampu menggerogoti bangunan-bangunana kayu dan bambu yang ada di tambak. Sebagai omnivorous scavanger, kepiting bakau memakan segala jenis makanan di dalam air, namun cenderung carnivorous (pemakan hewan).
Oleh karena itu, alternatif pakan yang bisa diberikan antara lain ikan runcah segar, ikan rucah kering tawar, kulit sapi atau kambing atau rusa atau kerbau, keong sawah, bekicut, daging ular, belut dan berbagai jenis kerang.
Pengamatan terhadap kepiting bakau budidaya menunjukkan bahwa waktu makan kepiting tidak beraturan, namun lebih aktif pada malam hari.
Kepiting bakau juga aktif makan pada saat air pasang atau bersamaan arus air baru. Sebaiknya pemberian pakan disesuaikan dengan kebiasaan tersebut.
Meskipun kepiting bakau adalah pemakan bangkai, namun kepiting bakau sensitif terhadap bahan cemaran terutama amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S).
Oleh karenanya, pembudidayaan kepiting bakau harus memperhatikan pemberian pakan agar tidak berlebihan, juga memperhatikan pergantian air.
Kondisi air/dasar tambak yang sangat jelek dapat mematikan secara total bila kepiting bakau tidak mempunyai kesempatan untuk berlindung ke tempat yang lebih aman.
Jumlah pakan yang diberikan kepada kepiting bakau budidaya berkisar antara 3-10% dari berat badan total, bergantung pada pengamatan.
Pada saat kepiting bakau mulai bertelur penuh,nafsu makan mulai berkurang sehingga jumlah pakan harus dikurangi. Pakan diberikan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari.
Pakan yang telah ditangkap kepiting segera dihancurkan dan dimasukkan ke dalam mulut dan sebagian akan terlepas ke dalam air dalam bentuk partikel halus yang dapat mengakibatkan tingkat kesuburan air tambak meningkat.
Oleh karena itu, diversifikasi melalui polikultur antar kepiting bakau dan ikan bandeng (Chanos chanos) dapat dilakukan untuk pemanfaatn lahan dan pakan serta pemeliharaan kualitas air.
Kepiting bakau mulai memijah pada umur 12 bulan atau ukuran karapasnya mencapai 120 mm. Pemijahan kepiting bakau di alam berlangsung sepanjang tahun, tetapi pemijahan pada setiap perairan berbeda-beda.
Ketika hendak memijah, kepiting bakau melakukan beruya yang tidak lebih dari 1 km dari pantai. Pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang dalam mengikuti periode bulanan, khususnya pada bulan-bulan yang baru. Namun, kepiting bakau juga ditemukan memijah di tambak dan daerah sekitar estuaria.
Bila kepiting bakau betina mulai matang gonad yang ditandai dengan mengandung telur di sela-sela bagian dalam karapasnya, maka akan mencari tempat yang sunyi, aman dan terlindung dari berbagai gangguan.
Kepiting bakau jantan kemudian membuntuti dan bila terjadi kecocokan, maka kepiting jantan akan naik ke atas kepiting betina dengan posisi perut keduanya menghadap ke bawah.
Dengan posisi itu kepiting jantan berenang membawa kepiting betina mencari tempat yang sunyi. Lima hari kemudian atau lebih betina berganti kulit (moulting) yang disertai dengan pengeluaran hormon yang menarik keiting jantan untuk mendekatinya.
Bila ada kepiting jantan lain yang mendekat maka akan terjadi pertarungan memperebutkan betina yang siap kawin tersebut. Kepiting betina yang masih dalam kondisi lunak tidak terteutup kemungkinan akan hancur oleh capit-capit kepitig jantan.
Kadang-kadang kepiting jantan yang tertarik dan cemburu akan bau yang dikeluarkan boleh kepiting betina yang akan menyerang dan mengoyak-ngoyak kepiting betina yang masih lunak tersebut.
Setelah karapas kepiting betina mulai mengeras, kepiting jantan yang berhsil mendekatinya atau memenangkan pertarungan akan perlahan-lahan membalikkan tubuh keiting betina sehingga perut dan alat kelaminnya saling berhadapan.
Sambil berenang, beberpa jam kemudian terjadilah pembuahan. Telur yang dibuahi akan dikeluarkan seluruhnya dan berserakan.
Selanjutnya, telur-telur tersebut dikumpulkan kembali oleh induk betina dengan bantuan kaki jalan dan ditata pada pleopod (wadah telur) oleh kedua kaki renangnya.
Telur yang dibuahi akan menetas 9-15 hari setelah telur dikelluarkan. Seekor kepiting betina dapat mengandung 2 juta sampai 8 juta butir telur tergantung ukuran dan umur kepiting
Tingkat perkembangan kepiting bakau dibagi dalam tiga fase, yaitu fase embrio (telur), fase larva dan fase keiting sempurna.
Pada fase larva dikenal tingkat zoea I, II, III, IV, V dan megalops. Sedangkan pada fase kepiting sempurna dikenal kepiting muda dan kepting dewasa.
Telur kepiting bakau menetas menjadi larva yang dibagi kedalam zoea I, II, III, IV dan V. Pada setiap ganti kulit, zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat.
Dan pada tingkat megalops, bentuk tubuhnya sudah mirip kepiting dewasa, kecuali abnomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang. Bila megalops berganti kulit untuk mejadi kepiting muda pertama, abnomen bentuk ekor berubah menjadi abdomen seperti kepiting dewasa.
Waktu yang diperlukan untuk setiap tingkat dari zoea I sampai zoea V umumnya 3-5 hari, sedangkan lamanya metamorfosis dicapai antara 17-26 hari.
Proses ganti kulit pada zoea relatif cepat yaitu 3-4 hari. Pada megalops membutuhkan waktu 7-12 hari, dan ganti kuliit fase ini terjadi setiap 11-15 hari.
Umumnya perkembangan zoea sampai megalops memerukan waktu paling sedikit 18 hari. Dalam perkembangannya, megalops mulai bergerak ke arah pantai memasuki air payau.
Fase kepiting muda berawal setelah megalops berganti kulit atau umur kepiting mencapai 30-35 hari setelah penetasan. Sejak penetasan hingga menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami ganti kulit 17-20 kali.
Fase terakhir kepiting muda adalah fase 16 atau 17 (ganti kulit ke-16 atau 17) dengan panjang karapas sekitar 100 mm. Interval waktu minimum dari mulai ditetaskan sampai tinggkat pemijahan (perkawinan) pertama adalah sekiatr 369 hari.
b. Benih Kepiting Bakau
Benih kepiting bakau dapat diperoleh dengan caa melakukan penangkapan di alam (ekosistem mangrove) atau dibalai pembenihan atau hatchri.
Benih kepiting bakau di alam tersedia sepanjang tahun, sehingga upaya penangkapannya mudah dilakukan. Penangkapan kepiting bakau di alam telah lama dilakukan oleh nelayan.
Alat-alat yang digunakan untuk penangkapan kepiting bakau antara lain dakkang, ambau, banjur, bubu dan tongkat.
Sedangkan benih dari pembenihan terkontrol tersedia di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak ada perbedaan antara benih alam dan benih dari hatchri dalam hal pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Keunggulan dari benih dari hatchri adalah keseragaman.
c. Budidaya Kepiting Bakau
Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak dan di ekosistem mangrove. Untuk budidaya kepiting bakau di ekosistem mangrove, wadah yang digunakan berupa hampang, keramba, atau jaring apung.
Budidaya kepiting ditujukan untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan budidaya dikenal dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain pembesaran dan penggemukan, kini dikenal produksi keiting lunak atau kepiting soka.
Pembesaran
Pembesaran kepiting bakau adalah usaha umum yang telah dilakukan oleh petani atau nelayan kepiting. Usaha ini dilakukan dengan menangkap kepiting bakau di alam dan selanjutnya membesarkannya.
Benih juga dapat diperoleh di hatchri. Benih yang ditebar ukurannya bervariasi, tergantung yang diperoleh dihatchri.
Ada yang menebar benih ukuran 20-40 gram per ekor hingga ukuran 80-100 gram perekor. Pembesaran dapat dilakukan di tambak, keramba, hampang atau jaring apung.
Bila tambak telah diisi air dan ketinggiannya telah mencapai 40 cm, maka penebaran benih sudah dapat dilakukan.
Pemeliharaan kepiting bakau di tambak dapat dilakukan secara monokultur (satu jenis) atau polikultur (lebih dari satu jenis).
Kepiting bakau dapat dipelihara bersama ikan bandeng (Chanos chanos), nila (Oreochromis niloticus), mujair (O. mossambicus), belanak (Mugil sp) dan ikan baronang (Siganus sp).
Untuk pemeliharaan monokultur, benih kepititng bakau berukuran rata-rata 20-40 gram atau panjang karapas 2-3 cm ditebar dengan dengan kepadatan 3-5 ekor per meter persegi atau 30.000-50.000 ekor per hektar.
Jika ukuran benih yang ditebar lebih besar, misalnya 80-100 gram per ekor, maka padat penebaran diturunkan cukup 2-3 ekor per meter kubik.
Padat penebaran dapat ditingkatkan hingga 8-10 ekor permeter persegi untuk benih berukuran 20-40 gram per ekor, jika tambak dikelola secara intensif dengan penggantian air 20-30% setiap hari.
Artinya, dengan mengandalkan pasang surut, tambak sulit dikelola secara intensif. Oleh karena itu, peningkatan padat penebaran harus diikuti dengan pengadaan pompa air dan aerator.
Pakan diberikan sebanyak 3-6 % bobot biomass, namun perlu dilakukan pengamatan secara berkala terhadap jumlah makanan yang dimakan oleh kepiting untuk menentukan dosis yang tepat.
Pakan yang diberikan setiap hari sebanyak dua kali, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pakan yang diberikan berupa ikan runcah, ikan kering, daging kerang dan lain-lain. Kepiting bakau juga dapat diberikan pakan berupa pelet yang mengandung protein 25-35 %.
Produksi Kepiting Lunak
Salah satu masalah dalam mengkonsumsi kepiting bakau adalah mengkorek-korek cangkang untuk mengeluarkan dagingnya.
Saat ini kepiting dapat diproduksi tanpa cangkang yang dikenal sebgai kepiting soka atau kepiting lunak (soft shell). Kepiting soka mulai digemari dan prospek budidayanya sangat baik.
Budidaya kepiting untuk memproduksi kepiting lunak atau kepiting soka tidak berbeda dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan.
Dalam memproduksi kepiting lunak atau kepiting soka yang perlu diperhatikan adalah waktu ganti kulit (moulting). Begitu kepiting ganti kulit langsung dipanen, sehingga kulitnya masih lunak.
Untuk mempercepat ganti kulit, kepiting dimutilasi sehingga tersisa sepasang kaki renang bagian depan. Kepiting ukuran 80-120 gram perekor diadaptasikan ke dalam bak atau keramba selama 1 hari, kemudian capit dan kaki jalannya dipotong.
Setelah itu, kepitng dipelihara ditambak, keramba, atau hampang selama 15-37 hari atau samapi kepiting ganti kulit.
Cara produksi kepiting lunak dengan memutilasi kepiting bakau dianggap kejam terhadap kepiting. Karena itu, dikembangkan metode-metode yang tidak menyiksa kepiting.
Ahli kepiting bakau mengembangkan teknik mempercepat ganti kulit dengan menyuntikkan ekstrak bayam. Bayam mengandung zat yang dapat merangsang kepiting bakau sehingga cangkangnya lunak.
Metode ini diharapkan menjadi teknologi produksi kepiting lunak yang lebih efisien serta tidak kejam terhadap kepiting.